Namaku Ani, aku tinggal di sebuah desa yang sejuk tiada polusi
dengan hati yang penuh kebebasan selama hidupku aku ditemani tiga orang kakakku
dan kedua orang tua yang sangat menyayangiku. Tiba-tiba kulihat Bibi datang dan
mengawali pembicaraan dengan Ibuku.
“ Mbak, gimana kalau Ani itu tak rawat saja?”
“ Lha memangnya kenapa?” tanya Ibuku penasaran.
“ Aku kok kasihan mbak sama Ani tidak ada yang ngawasi kalau siang
main sampai ke sungai, panas-panasan kurang perhatian dari mbak.” Jawab Bibi.
“ Memang bener sih, aku ke pasar terus pulang sore lagi pula
kakak-kakaknya juga pada sekolah, ya sudah rawat saja jaga Ani baik-baik .”
jawab Ibuku setuju.
“ Iya mbak.”
Keesokan paginya pun aku mulai tinggal di rumah nenek yaitu dimana
Bibiku tinggal, hari-hariku bersama Bibi sangatlah menyenangkan, tiada
kesedihan yang berarti dalam hidupku sekarang. Hari ini kami berdua ingin
jalan-jalan
“ Ani, ayo berangkat nanti keburu siang!” terdengar suara keras
Bibi sampai ke kamar.
“ Iya bi, bentar ni aku sudah siap.” Jawabku sambil menghampiri
Bibi keluar. Dan kami pun segera berangkat menuju tempat wisata, itulah
kegiatan yang kami lakukan
karena Bibi masih sendiri jadi kami bisa pergi kemana saja berdua.
Selain kebahagiaan
itu juga Bibi tidak pernah mengacuhkanku Bibi selalu mendandaniku sebelum
sekolah, mengantarku ke sekolah, menunggui aku belajar pokoknya, sangat
sempurna sampai-sampai aku berfikir bahwa Bibi adalah orang yang paling peduli
dengan aku dibandingkan dengan Ibuku sendiri yang selalu sibuk bekerja.
Tiga tahun berlalu
begitu cepat, Bibi pun menemukan tambatan hatinya yaitu paman Doni yang
kemudian menikahinya dan juga tinggal bersamaku di rumah nenek. Dibalik itu
semua sebenarnya aku menyimpan suatu perasaan yang menolak pernikahan Bibiku
karena aku khawatir kehilangan perhatian Bibi setelah dia berumah tangga. Ku
lihat keluarga paman Doni yang berkunjung ke rumah untuk menjenguk Bibi yang
baru saja melahirkan anak pertamanya.
“ Ayo kemari kalau mau minta jajan .” tawaran paman Doni pada
keponakannya kecuali aku mungkin dia tidak pernah ingin menganggapku sebagai
ponakan, dia membiarkan aku begitu saja tanpa menawariku jajan padahal aku
berada di sekitar warung itu .
Setelah Bibi
mempunyai anak, Bibi tidak pernah memperhatikan aku lagi, dia acuh dan sama
sekali tak peduli lagi denganku. Perasaan yang aku rasakan saat ini hanyalah
kekangan dari Bibi yang membuat aku sangat sedih. Dan pada suatu hari Bibi
membentakku dengan suatu alasan yang tidak jelas.
“ Ani........! apa yang kamu lakukan.” Tanya Bibi mendekatiku.
“ Apa? Aku tidak melakukan apa-apa.” Jawabku dengan penuh rasa
takut.
“ Bibi kan sudah pernah bilang kamu jangan pernah ke warnet lagi!”
“ tapi kenapa Bi?” tanyaku meminta penjelasan.
“ Ah sudah jangan banyak tanya, kamu itu tinggal di rumahku jadi,
kamu jangan pernah menentang peraturanku.” Kata Bibi dengan nada yang keras
tanda kemarahan.
“ tapi Bi? Saya ke warnet untuk buat tugas sekolah masak dak
boleh?” kataku membela diri.
“ Bibi bilang tidak ya tidak, jangan banyak alasan lagi, sudah sana
cuci piring.”
“ Ah.....Bibi ma gitu!” kataku pelan sambil menuju ke tempat cuci
piring. Aku terus memikirkan sambil bertanya-tanya kenapa Bibi selalu bersikap
acuh padaku dan selalu melarangku setiap aku mau pergi ke warnet, padahal
menurutku tidak ada yang salah kok, toh aku juga tidak merugikan Bibi, aku
menggunakan uang orang tuaku sendiri selama ini.
Malam itu aku merasa
sangat kepanasan untuk itu aku mencoba mencari angin diluar kamar, dan ketika
aku melintas di kamar Bibi terdengar Bibi dan Paman sedang bicara.
“ Mah, kenapa Ani itu tidak di pulangkan saja kepada ibunya sih?”
kata Paman Doni mengawali pembicaraan.
“ Papah itu gimana to? Memangnya papah pikir aku suka jika si Ani
itu tetap tinggal disini aku itu sudah muak sama mukanya itu, apalagi ibunya
uuu.....hh!! rasanya mau aku bunuh saja dia.” jawab Bibi meluapkan isi hatinya.
“ Lha memangnya kenapa sih Mah, kok sepertinya Mamah sangat benci
sama ibunya si Ani padahal, kalau aku lihat Mamah selalu ramah kok sama dia
seperti tidak ada masalah apa-apa?”
“ Asal papa tahu saja sebenarnya aku sangat membenci ibunya si Ani itu dia telah merenggut semua
impianku.” Jawab Bibi.
“ Kok bisa gitu?” tanya paman Doni semakin penasaran.
“ Gara-gara dia dikursuskan menjahit dan sekolah SLTA aku tidak
pernah dibiyayai Pa’e mondok, aku berjuang sendiri untuk mondok aku tak pernah
bisa makan mie ayam cuma mie ayam, aku merasa tidak rela dengan semua itu,
semua itu begitu menyakitkan bagiku.”
“ Lalu, apa hubungannya dengan Ani?” tanya paman Doni lagi tidak
mengerti.
“ Aku sedang menjalankan rencana besar, papah kira aku mau mungut
dia sejak kecil tanpa sebuah misi.”
“ Misi apa? tanya paman Doni semakin tidak mengerti.
“ Misi untuk sebuah visi balas dendam, aku akan menggunakan cara
yang sangat halus untuk misi ini, pertama-tama aku sudah berhasil menanamkan ke
dalam otaknya Ani agar dia membenci Ibunya yang hanya sibuk bekerja, kedua
dengan begitu sudah pasti Ani tidak akan pernah menuruti Ibunya dan dia hanya
akan menuruti aku dan itu membuat aku sangat sempurna untuk mudah
mengendalikannya, menjauhkannya dari sebuah tekhnologi yang membuatnya modern
karena aku ingin Ani menjadi anak yang tidak lebih pintar dari anak semata wayang
kita, dengan begitu aku akan melihat Ibunya menderita memikirkan anaknya yang
tidak pernah mendengarkan nasehatnya, dan sangat jauh dari tekhnologi hingga
dia sakit dan mati perlahan-lahan huuu.....h! sangat sempurna sekali.” Jelas
Bibi panjang lebar.
“ pah......pah, ah....gimana sih papah diajak omong tapi malah
ditinggal tidur.” Kata Bibi kesal pada Paman. Dan kemudian aku pun kembali ke
kamar sambil menangis tak percaya menghadapi kenyataan jika ternyata Bibi yang
selama ini aku banggakan ternyata berhati sangat busuk.
Keesokan harinya aku
pergi pulang ke rumah dan mulai berbicara dengan Ibu.
“ Bu, aku ingin pulang ke rumah saja lah.”
“ lha ada apa?” tanya Ibu meminta penjelasan.
“ Dak ada apa-apa aku hanya ingin suasana baru aja, boleh ya bu?”
kataku mencoba membujuk.
“ Ibu sih terserah kamu saja.” Jawab Ibu melegakan hatiku.
“ makasih Bu?” kataku sambil pergi untuk mengemasi barangku di
rumah nenek.
Tapi aku tidak pernah ingin berpamitan dengan Bibi, aku dak mau
jika harus mengatakan kalau aku mengetahui topeng keburukan Bibi yang selama
ini tertutup. Akhirnya aku memutuskan untuk kabur lewat gerbang secara
diam-diam dan aku pun tidak pernah kesana lagi walaupun hanya sekedar untuk
bermain.
Setelah itu aku
mulai menata hidupku untuk menentukan masa depanku sesuai dengan apa yang aku
cita-citakan, tapi aku tidak pernah menceritakan keburukan Bibiku pada orang
lain termasuk Ibuku, karena aku tidak pernah ingin memecah belah keluarga
Ibuku.
Dan Bibiku seperti biasa
baik di depan tapi buruk di hati, jika dirasakan memang sangat geli Bibi
berusaha suka dengan keluargaku padahal tanpa dia sadari bahwa aku sudah tahu
topengnya. Tapi tetap saja aku tidak pernah akan bisa melupakan apa yang
diperbuat Bibi kepadaku, karena itu sangat menyakitkan bagiku.